Menurut keterangan Nyi Eni semasa hidupnya, kata Berly, pihak lain yang menguasai sebagian tanah neneknya sudah berlangsung sejak 1972. Kala itu, neneknya didatangi oknum perangkat Desa Cimaja untuk menyampaikan bahwa tanah kepunyaan almarhumah terkena pemutihan dan diambil-alih oleh pemerintah berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 dan Undang-undang Landeform Tahun 1963.
“Ternyata siasat oknum desa itu justru diduga ingin merampas dan merebut tanah hak milik nenek kami. Buktinya, Letter C dan Persil atas nama Nyi Eni Binti Edi di buku induk desa telah dicoret dengan akronim KS (kasih). Padahal, semasa hidupnya, ibu Eni tidak pernah memberikan, menghibahkan, maupun menjual tanah miliknya kepada siapapun,” ungkapnya.
Lebih ironi, setelah peristiwa 1972 berlalu, Nyi Eni hanya mendapat bagian tanah seluas 15.850 meter persegi tercatat di Letter C 795 Persil 228. Sedangkan dua orang anakmya yaitu Kikih Sukendar memperoleh pemyisihan seluas 19.500 meter persegi tercatat di Letter C 759/2383 Persil 132 dan Iyok Rosilawati hanya disisihkan seluas 14.400 meter persegi yang tertuang dalam Letter C 760/2386 Persil 132. Penyisihan tanah dilakukan oleh oknum perangkat Desa Cimaja pada masa itu.
“Memang dari tiga bidang tanah itu, baru kakak orang tua saya atas nama Kikih yang sudah memiliki buku sertifikat terbitan tahun 1978. Anehnya, tanah hak milik nenek dan orang tua saya telah dikuasai pihak lain yang hanya bermodalkan lembaran SPPT. Meski tahun 1990 keluarga sudah mengajukan pendaftaran penegasan hak atas nama Nyi Eni Binti Edi kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi, fakta di lapangan tetap saja tanah hak nenek dan ibu Iyok Rosilawati beralih kepemilikannya,” tutur Berly.